Pertama kali saya dengar kata talenta di Alkitab Mat 25 : 14 - 30. Talenta ternyata ukuran berat yang digunakan pada jaman dahulu. Berdasarkan www.studybible.org, 1 talenta = 34,3 kg. Alat transaksi pada jaman itu berupa perak atau emas.
Nah, di jaman sekarang, kata talenta lebih populer dikenal sebagai sinonim dari bakat/kemampuan lahiriah. Benarkah setiap orang terlahir memiliki talenta?
Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap dari kita memiliki bakat lahiriah. Namun, dalam perjalanannya, manusia belum tentu bisa menemukan apa bakatnya tersebut. Saya, hingga saat ini masih terus mencari apa bakat saya. Beberapa orang bilang, bakat saya menulis. Sampai saat ini, kok rasa - rasanya saya tidak bisa disebut sebagai penulis. Jangankan menerbitkan buku, artikel ini saja mungkin hanya 1 - 2 orang yang membaca ( 1 diantaranya mungkin saya paksa baca).
Bagaimana cara menggali talenta ?
- Dengan mencoba banyak hal dan tidak takut gagal (seringnya hanya patah semangat).
Ada satu hal yang mengusik saya : KEYBOARD/PIANO/apa pun itu sebutannya.
Saya memiliki memory tentang piano, di masa kecil saya. Saya diam - diam selalu terpesona dengan Bapak ketika beliau mengenalkan beberapa alat musik yang teronggok di rumah. Rumah kami tidak ada alat musik. Alat - alat musik tersebut hanya singgah beberapa malam karena rumah kami sering dipakai latihan koor untuk tugas gereja.
Suatu hari Bapak pulang dan membawa sebuah mainan berwarna pink, berbentuk kue tart bulat dengan lagu Happy Birthday. Benda itulah yang saya sebut piano. 'Piano' ini memiliki tuts - tuts kecil yang bisa saya mainkan. Rasanya senang bukan kepalang. Norak? Iya, tapi itu adalah hadiah mewah buat saya. Dilanjutkan dengan kata - kata Bapak :
"Sekarang mampunya beli ini dulu, suatu hari nanti kita beli piano beneran ya. Kamu harus tekun latihan, biar bisa ngiringi koor di gereja seperti mas XXX."
Sayang, hingga akhir hayatnya, tidak pernah ada piano milik kami di rumah.
Bapak pencuci otak yang handal. Terbukti, sejak saat itu, saya sering membayangkan berada di dekat altar dan memainkan piano. Saya mau jadi pemusiknya Tuhan.
Lantas, kenapa piano? Bukankah ada banyak alat musik lainnya?
Ya, beberapa tahun sesudahnya, saya tertarik dengan gitar. Alasannya, saya dikelilingi orang - orang yang bisa main gitar. Saya kan orangnya mudah tertantang, apalagi kalau disentil egonya. Mungkin memang dasarnya tengil, jadi pas belajar, stuck di kunci F. Tidak habis akal, saya belajar lagu - lagu yang tidak ada unsur kunci F. Sukses? Enggaklah, gagal total.
Sekitar 3 tahun yang lalu sempat ambil kursus gitar dan piano. Kursus gitarnya stop karena saya tengil itu tadi.
Tengilnya kenapa?
- Pokoknya tengil aja. Sudah percaya saja kalau saya tengil. TITIK.
Kursus piano lanjut sampai hampir 1 tahun. Awalnya, tengil juga. Lama - lama, mulai merasakan manfaatnya. Saya mendapat cara meditasi baru (makanya jarang menulis lagi). Durasi kelas hanya 30 menit setiap pertemuan. Tiga puluh menit yang sangat berarti dalam hari - hari saya saat itu.
Kenapa?
24 jam dalam sehari dan saya bisa melepaskan diri 30 menit. Benar - benar hanya 30 menit itulah saya bisa beristirahat dari apa yang saya hadapi (saat itu). Kadang - kadang, saking terlalu fokusnya, saya tidak merasakan kehadiran pengajarnya di ruangan itu.
Terus berhasil?
Enggak. Tempat saya kursus tutup dan saat itu juga saya kehilangan tempat untuk bermeditasi. Saya bungkus keyboard dan mengirimkannya ke rumah (rumah orang tua).
Dua tahun berlalu, saya mulai berkenalan dengan APX 500 II. Warna putihnya keren.
Jadi beli hanya karena keren???
Honestly, iya. Buat saya, bisa main gitar itu keren. Punya gitar keren juga meningkatkan kadar ke-keren-an kita. Saya pikir, kalau gitar bisa belajar autodidact. Apalagi jaman canggih seperti sekarang, tinggal buka YouTube dan ketik how to play guitar for beginner.
Berhasil?
Ya kali. Lagi - lagi stuck di kunci F. Sudah belajar sampai terluka, perih, tersayat - sayat. Kurang apalagi?
Hari ini, di tanggal yang super cantik 07-07-17, saya tergoda dengan LK 280. First impression, LK 280 is friendly, cocok buat belajar. Lebih pentingnya lagi "nggak nyakitin".
Seorang teman bercerita tentang keputusannya beli gitar bass dan sekarang rutin main musik di gereja. Katanya :
"Jangan lihat bisanya, liat prosesnya. Bukan bakat jg sih gue, hasil latihan sama banyak maen aja dulu2. Kalo ngga tekun terus nyerah di jalan ya ga kayak gini."
Kemudian, saya melihat gambar seperti ini :
Nah, di jaman sekarang, kata talenta lebih populer dikenal sebagai sinonim dari bakat/kemampuan lahiriah. Benarkah setiap orang terlahir memiliki talenta?
Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap dari kita memiliki bakat lahiriah. Namun, dalam perjalanannya, manusia belum tentu bisa menemukan apa bakatnya tersebut. Saya, hingga saat ini masih terus mencari apa bakat saya. Beberapa orang bilang, bakat saya menulis. Sampai saat ini, kok rasa - rasanya saya tidak bisa disebut sebagai penulis. Jangankan menerbitkan buku, artikel ini saja mungkin hanya 1 - 2 orang yang membaca ( 1 diantaranya mungkin saya paksa baca).
Bagaimana cara menggali talenta ?
- Dengan mencoba banyak hal dan tidak takut gagal (seringnya hanya patah semangat).
Ada satu hal yang mengusik saya : KEYBOARD/PIANO/apa pun itu sebutannya.
Saya memiliki memory tentang piano, di masa kecil saya. Saya diam - diam selalu terpesona dengan Bapak ketika beliau mengenalkan beberapa alat musik yang teronggok di rumah. Rumah kami tidak ada alat musik. Alat - alat musik tersebut hanya singgah beberapa malam karena rumah kami sering dipakai latihan koor untuk tugas gereja.
Suatu hari Bapak pulang dan membawa sebuah mainan berwarna pink, berbentuk kue tart bulat dengan lagu Happy Birthday. Benda itulah yang saya sebut piano. 'Piano' ini memiliki tuts - tuts kecil yang bisa saya mainkan. Rasanya senang bukan kepalang. Norak? Iya, tapi itu adalah hadiah mewah buat saya. Dilanjutkan dengan kata - kata Bapak :
"Sekarang mampunya beli ini dulu, suatu hari nanti kita beli piano beneran ya. Kamu harus tekun latihan, biar bisa ngiringi koor di gereja seperti mas XXX."
Sayang, hingga akhir hayatnya, tidak pernah ada piano milik kami di rumah.
Bapak pencuci otak yang handal. Terbukti, sejak saat itu, saya sering membayangkan berada di dekat altar dan memainkan piano. Saya mau jadi pemusiknya Tuhan.
Lantas, kenapa piano? Bukankah ada banyak alat musik lainnya?
Ya, beberapa tahun sesudahnya, saya tertarik dengan gitar. Alasannya, saya dikelilingi orang - orang yang bisa main gitar. Saya kan orangnya mudah tertantang, apalagi kalau disentil egonya. Mungkin memang dasarnya tengil, jadi pas belajar, stuck di kunci F. Tidak habis akal, saya belajar lagu - lagu yang tidak ada unsur kunci F. Sukses? Enggaklah, gagal total.
Sekitar 3 tahun yang lalu sempat ambil kursus gitar dan piano. Kursus gitarnya stop karena saya tengil itu tadi.
Tengilnya kenapa?
- Pokoknya tengil aja. Sudah percaya saja kalau saya tengil. TITIK.
Kursus piano lanjut sampai hampir 1 tahun. Awalnya, tengil juga. Lama - lama, mulai merasakan manfaatnya. Saya mendapat cara meditasi baru (makanya jarang menulis lagi). Durasi kelas hanya 30 menit setiap pertemuan. Tiga puluh menit yang sangat berarti dalam hari - hari saya saat itu.
Kenapa?
24 jam dalam sehari dan saya bisa melepaskan diri 30 menit. Benar - benar hanya 30 menit itulah saya bisa beristirahat dari apa yang saya hadapi (saat itu). Kadang - kadang, saking terlalu fokusnya, saya tidak merasakan kehadiran pengajarnya di ruangan itu.
Terus berhasil?
Enggak. Tempat saya kursus tutup dan saat itu juga saya kehilangan tempat untuk bermeditasi. Saya bungkus keyboard dan mengirimkannya ke rumah (rumah orang tua).
Dua tahun berlalu, saya mulai berkenalan dengan APX 500 II. Warna putihnya keren.
Jadi beli hanya karena keren???
Honestly, iya. Buat saya, bisa main gitar itu keren. Punya gitar keren juga meningkatkan kadar ke-keren-an kita. Saya pikir, kalau gitar bisa belajar autodidact. Apalagi jaman canggih seperti sekarang, tinggal buka YouTube dan ketik how to play guitar for beginner.
Berhasil?
Ya kali. Lagi - lagi stuck di kunci F. Sudah belajar sampai terluka, perih, tersayat - sayat. Kurang apalagi?
Hari ini, di tanggal yang super cantik 07-07-17, saya tergoda dengan LK 280. First impression, LK 280 is friendly, cocok buat belajar. Lebih pentingnya lagi "nggak nyakitin".
Seorang teman bercerita tentang keputusannya beli gitar bass dan sekarang rutin main musik di gereja. Katanya :
"Jangan lihat bisanya, liat prosesnya. Bukan bakat jg sih gue, hasil latihan sama banyak maen aja dulu2. Kalo ngga tekun terus nyerah di jalan ya ga kayak gini."
Kemudian, saya melihat gambar seperti ini :