Apapun yang kamu jual, juallah dengan kemasan ketulusan.
Ini ilmu marketing yang aku dapat dari omaku, seorang janda tua penjual bubur. Ilmu yang seharusnya diterapkan juga di sini, tempat yang aku pilih untuk lunch hari ini.
Plaza G merupakan plaza ukuran medium yang letaknya strategis dari kosku. Naik bajaj cukup dengan modal Rp 6.000, ya, walaupun harus mengeluarkan jurus rayuan dewi alang – alang untuk menawarnya, halah. Entah ada event apa, tapi pengunjung yang ada di dalamnya cukup padat. Tadinya aku berpikir, apa aku salah masuk ke pasar? Semua tempat makan full. Lucky or not, aku bisa mendapat kehormatan menduduki satu kursi di restoran cepat saji S. Walaupun tempatnya dekat dengan pintu masuk gudang makanan, di samping wastafel. Aroma yang masuk ke dua lubang hidung pun bervariasi, antara sayuran mentah, makanan matang, sabun cuci tangan beraroma strawberry dan parfum hasil lalu lalang manusia – manusia berperut kosong. Campur aduk, jadi kalau ada yang tidak kuat menahan gas di ruangan ini, aku pasti tidak tahu. Lucky for you.
“Mbak ada wifi?” Tanyaku kepada seorang pramusaji yang ukuran tubuhnya 11 – 12 denganku.
“Gak ada mbak.” Jawabnya tanpa senyum sambil menyodorkan list menu.
“Kalau colokan?” Tanyaku lagi tanpa mempedulikan menu. Aku justru memperhatikan make upnya yang masih lekat menempel di wajah pas – pasannya itu. Ah, penampilan menarik memang diharuskan dalam dunia marketing. Banyak pramuniaga, SPG, staff marketing sampai pramusaji di depanku ini diharuskan berdandan. Satu ilmu yang mulai salah kaprah pada penerapannya. Menarik itu tidak harus selalu dengan make – up. Menarik itu juga menyangkut attitude. Behavior. Hanya saja, ada beberapa pekerja yang menganggap semakin menor make upnya semakin merasa up to date tampilannya. Aku hanya bisa geleng – geleng kepala.
“Gak ada.” Si mbak menjawab dengan nada ‘dasar manusia gretongan’.
“Aduh, gak ada ya mbak? HP saya lowbatt nih mbak, mau hidupin laptop tapi kayanya baterai juga gak memadai nih.”
Aku sadar, terdengar seperti curcol kalimat barusan. Kalau dibuat dramatis, setelah itu aku menangis meraung – raung sambil meminjam pundaknya. Kemudian dia membelai rambutku dan berusaha menenangkanku. Pada akhirnya aku tidak bisa ditenangkan dan semakin memberontak. Lalu dia menyuruh temannya memanggil dukun. Setelah mendapat cipratan air ludah si dukun aku pingsan dan dukunnya berkata : panggil dukun beranak, udah pembukaan sembilan. Glek !
Mbak pramusaji yang aku tahu bernama Uni tersenyum. Terpaksa. Senyum ‘niat makan apa numpang ngecharge sih?” Dia berdiri dengan salah satu kaki menopang, bergantian. Ketidaksabaran mulai menyembul di sela pori – pori wajahnya. Menembus alas bedak, merobek bedak bubuk yang menempel di kulitnya. Aku tersenyum sedikit sinis. Make up yang dikenakannya pasti bermerk V, merk yang mendarah daging bagi kalangan SPG produk kecantikan tempo doeloe. Ah, sekarang merk itu sudah lengser keprabon. Mungkin ada solusi bagi merk V yaitu bunuh diri dan lahir kembali dengan nama baru yang lebih catchy.
Nothing to lose-lah dengan nama awal, toh, memang sekarang ini sudah tidak tenar. Siapa lagi yang mau pakai produk merk V? Perempuan jaman sekarang kan lebih bangga dengan merk – merk ke-british-an, padahal belum tentu cocok dengan kulitnya. Contohnya si Memi, pembantu sebelah rumah. Setiap hari yang diomongin peralatan make up hibahan dari majikannya.
“Mbak, gue pakai bedaknya pes shop lho. Mahal harganya.” Kata Memi suatu hari. Aku hanya tersenyum. Prihatin. Mengucapkan merknya saja dia belum bisa. Untung saja dia nggak menyebut merk pet shop, bisa kram perutku mendengarnya.
“Mbak, gue lagi pakai parfum Ni..Nina...aduh..Nina Maicih lho.” Kata Memi lain hari dengan logat Jawa yang sangat medok di kata ‘gue’. Aku tidak sanggup menahan tawa.
“Eh, Mem, itu merk parfum apa merk makanan?” Godaku waktu itu.
“Parfum dong mbak. Ah, lo gak gaul banget sih.” Aku ketawa lagi mendengar logat Memi yang Jawa abis. Dia selalu mengucapkan huruf ‘g’ dengan ditekan. Walaupun sok tau, tapi Memi orang baik yang sangat disayangkan kalau sampai di ditelan porak porandanya pergaulan ibukota.
“Ehemmmm..hmmm..” Uni berdehem.
Aku melihat ke arahnya dan buyar lamunanku tentang Memi. Emosi mulai menyelinap keluar menyusul si ketidaksabaran yang mulai nyaman melekat di bedak bubuk merk V milik Uni. Aku menelan ludah sekaligus amarah. Keep calm.
“Mbak...saya pesan...nasi ayam jamur deh sama es teh manis.” Aku tersenyum dan memandangnya.
“Ayam jamurnya habis.” Jawabnya sambil melingkari tulisan ‘es teh manis’.
“Ganti deh, bakso urat ya, pakai mie.” Aku menutup list menu yang tadinya sempat aku buka kembali.
“Bakso uratnya habis, tinggal bakso halus.” Dia menjawab sambil celingak celinguk mengamati setiap pelanggan yang keluar masuk pintu. Sama sekali tidak memperhatikanku.
Oh, oke. Jadi tidak semua menu ini available ya? Aku masih berpikir positif mungkin memang mereka kehabisan stok. Maklumlah, ini hari Minggu dan memang sudah masuk waktunya lunch.
“Pesan nasi ayam asam manis ada mbak?” Aku mulai kehabisan pilihan dan mulai tidak suka dengan sikapnya.
Uni hanya mengangguk, melingkari tulisan nasi ayam asam manis, kemudian berlalu dengan cepat. Tidak ada basa basi yang basi apalagi yang basa. Ah, sudahlah Uni, rasaku habis untukmu kali ini, eh?!!
Aku menyalakan laptopku sambil mengutak - atik artikel yang selesai aku tulis semalam. Ya, beginilah nasib seorang karyawan swasta yang masih mengambil side job sebagai penulis lepas di sebuah majalah. Ketika orang – orang berkumpul dan ketawa ketiwi ketewe menikmati hari Minggu, aku malah dikejar dateline hari Senin. Aku menyukai pekerjaan ini, karena ini hobi dan cita - cita.
20 menit berlalu dan tidak ada aroma nasi ayam asam manis mengetuk hidung. Aku berdiri dan mencari sosok Uni.
“Mbak, pesenan saya belum datang nih.” Aku sedikit protes dengan pramusaji lain bernama Ira. Pramusaji yang cukup manis.
“Mohon ditunggu ya.” Jawabnya singkat dan berlalu tanpa senyum. Ah, Ira hampir saja hati ini jatuh padamu. Aku pikir kau berbeda dengan Uni.
30 menit berlalu dan orang – orang yang datang setelah aku, mulai mendapatkan makanan mereka masing – masing. Perutku mulai berdemo, iri karena melihat perut – perut kosong yang lain sudah mulai terisi.
35 menit berlalu dan salah satu organ pencernaanku mulai marah dan mengacungkan maag. Perutku tiba – tiba mules seperti dicabik – cabik. Akh, aku meringis sambil mencengkeram perut. Seorang bapak tua berkepala botak melihatku dan mengerlingkan matanya. Oh, gosh. I don’t like you, Sir. Even I can falling in love with a man, I don’t want to choose you.
“Mbak, pesenan saya mana ?” Aku bertanya sambil meringis menahan sakit. Pramusaji bernama Ayi memberiku kode ‘sabar bo, kerjaan gue banyak’. Errr... Apa salah satu syarat menjadi pramusaji di restoran S ini harus memiliki nama yang terdiri dari 3 huruf? Uni, Ira, Ayi? Ah, aku menertawakan kesimpulanku sendiri.
Nice answer dear.
Semua pramusaji mungkin dipaksa meninggalkan senyum mereka di loker. Ya, mungkin itu alasannya aku tidak bisa menemukan senyum di wajah para pramusaji. Restoran S ini cukup terkenal di kalangan menengah. Makanan yang ditawarkan pun sebenarnya lumayan banyak variasi. Harga terjangkau tapi juga tidak bisa dikatakan murah. Ramai pengunjung. Seharusnya mereka menjaga kredibilitas itu. Membayar kepercayaan pengunjung dengan full service. Aku sudah duduk di sini lebih dari setengah jam, tapi makanan tidak kunjung datang. Malah pengunjung lain yang mendapat pesanan mereka terlebih dahulu. Entah kesalahan ini terletak dimana. Aku tahu para pramusaji itu mungkin capek dengan pertanyaanku. Hanya saja, tidak semua pengunjung itu mempunyai waktu untuk menunggu dan yang memiliki waktu untuk menunggu pun mempunyai batas kesabaran untuk menunggu.
Aku jadi teringat dengan Omaku. Nenek 65 tahun itu selalu melayani pelanggan dengan prioritas. First come, first served. Membungkus setiap pesanan bubur dengan cekatan dan menghiasinya dengan senyuman. ‘Jadikan senyummu, mahkota bibirmu.’ Itu pesan beliau yang selalu terngiang. Setiap hari beliau bangun subuh sebelum ayam berkokok dan mulai memasak bubur. Padahal laba yang didapat hanya secuil, tidak akan membuatnya kaya.
“Kamu jangan salah. Pekerjaan ini membuat Oma bisa kaya raya.” Oma pernah berkata padaku dulu. Aku melotot dan bersiap membantah. Bagaimana tidak? Laba yang didapatnya setiap hari hanya berkisar antara Rp15.000 – Rp 20.000, bahkan kalau sedang tidak laku, Oma tidak mendapatkan untung sama sekali. Tidak jarang beliau rugi, jadi kaya dari mana?!
“Bukan kaya harta yang Oma maksud, tapi kaya hati. Melayani setiap orang yang datang, sabar mendengar cerita mereka itulah yang membuat Oma kaya. Setiap orang bisa dan ingin menjadi ‘raja’. Sementara sedikit orang yang mau menjadi pelayan ‘raja’. Jadilah, bukan apa yang orang elu – elukan, tapi pelayan yang dirindukan. Itulah makna harta sesungguhnya.” Saat itu aku hanya diam. Tidak tahu harus berkata apa sementara Oma mengusap rambutku dengan lembut sambil tersenyum.
Brak !
Suara pintu membuyarkan lamunanku. Makananku datang dari pintu gudang makanan yang ternyata bisa menembus ke dapur. Diantar oleh Uniku. Aku terus memandangnya, tidak lagi ke makanan.
Great.
Uni menyajikannya dengan muka datar kelelahan tanpa basa basi lagi. Uni, aku menunggumu di sini 40 menit dan hanya ini yang kamu berikan padaku? Sungguh tega kau Uni. Dimana nuranimu? Perutku melonglong sepanjang penantian ini. Bahkan satu kata maaf pun tidak pernah terluncur dari bibirmu yang kau poles dengan lipstick merk V. Kamu hanya berlalu setelah meletakkan pesananku. Membiarkanku gagu di depan nasi ayam asam manismu. Oh, Uni...eh?!!!
Tampilan makanan ini pun membunuh rasa lapar. Cacing dan naga dalam perut tiba – tiba bunuh diri karena melihatnya. Nasi putih yang lesu seperti kekurangan darah. Sayuran yang berantakan tak mengenal koreografi. Carut marut tatanan ayam mini yang hampir putus asa semalaman . Ah, sempurna sudah, Uni. Ayam asam manis itu pun menjadi banci karena aku tahu dari ayam goreng tepung sisa kemarin dia berasal. Ayam asam manis ini kehilangan jati diri. Salahkah Uni? Ah, aku semakin sakit hati padamu Uni.
Packaging. Ya, ini yang harus dipelajari oleh restoran S jika tidak ingin usahanya merosot dan kalah saing. Buat tampilan makanan semenarik mungkin. Seharusnya saos asam manis sebagai topping bisa mempercantik tampilan ayam. Ya, sejenis dengan blush on berpadu padan dengan eye shadow. Sayuran yang dibubuhkan mungkin efeknya mirip dengan eye liner, mempertajam tampilan.
Aku mulai berusaha menikmati menu lunchku yang sudah menguras emosi. Selera makanku sudah melarikan diri. Aku menelan semua makanan hanya demi kau Uni. Tolong jangan lakukan ini kepada pelangganmu yang lain. Aku hanya tidak ingin kau dicaci maki.
“Lily...” Suara lembut memanggilku.
Seorang wanita trendy masa kini menghampiriku. Semerbak parfumnya merasuk ke seluruh organ tubuhku. Mengecup pipiku lembut lalu menarikku pergi menjauh dari tempat kerja Uni. Uni menatapku bengong dari kejauhan, Ira dan Ayi berbisik – bisik, lantas tertawa terkikik. Ah, biarkan saja, aku tidak perlu mengaku lesbi. Ya, itu hanya akan membuat kalian jatuh hati. Goodbye, Ira, Ayi dan kau..Uni.
(written : 31 Mar 2012)
@Cezza13
Ini ilmu marketing yang aku dapat dari omaku, seorang janda tua penjual bubur. Ilmu yang seharusnya diterapkan juga di sini, tempat yang aku pilih untuk lunch hari ini.
Plaza G merupakan plaza ukuran medium yang letaknya strategis dari kosku. Naik bajaj cukup dengan modal Rp 6.000, ya, walaupun harus mengeluarkan jurus rayuan dewi alang – alang untuk menawarnya, halah. Entah ada event apa, tapi pengunjung yang ada di dalamnya cukup padat. Tadinya aku berpikir, apa aku salah masuk ke pasar? Semua tempat makan full. Lucky or not, aku bisa mendapat kehormatan menduduki satu kursi di restoran cepat saji S. Walaupun tempatnya dekat dengan pintu masuk gudang makanan, di samping wastafel. Aroma yang masuk ke dua lubang hidung pun bervariasi, antara sayuran mentah, makanan matang, sabun cuci tangan beraroma strawberry dan parfum hasil lalu lalang manusia – manusia berperut kosong. Campur aduk, jadi kalau ada yang tidak kuat menahan gas di ruangan ini, aku pasti tidak tahu. Lucky for you.
“Mbak ada wifi?” Tanyaku kepada seorang pramusaji yang ukuran tubuhnya 11 – 12 denganku.
“Gak ada mbak.” Jawabnya tanpa senyum sambil menyodorkan list menu.
“Kalau colokan?” Tanyaku lagi tanpa mempedulikan menu. Aku justru memperhatikan make upnya yang masih lekat menempel di wajah pas – pasannya itu. Ah, penampilan menarik memang diharuskan dalam dunia marketing. Banyak pramuniaga, SPG, staff marketing sampai pramusaji di depanku ini diharuskan berdandan. Satu ilmu yang mulai salah kaprah pada penerapannya. Menarik itu tidak harus selalu dengan make – up. Menarik itu juga menyangkut attitude. Behavior. Hanya saja, ada beberapa pekerja yang menganggap semakin menor make upnya semakin merasa up to date tampilannya. Aku hanya bisa geleng – geleng kepala.
“Gak ada.” Si mbak menjawab dengan nada ‘dasar manusia gretongan’.
“Aduh, gak ada ya mbak? HP saya lowbatt nih mbak, mau hidupin laptop tapi kayanya baterai juga gak memadai nih.”
Aku sadar, terdengar seperti curcol kalimat barusan. Kalau dibuat dramatis, setelah itu aku menangis meraung – raung sambil meminjam pundaknya. Kemudian dia membelai rambutku dan berusaha menenangkanku. Pada akhirnya aku tidak bisa ditenangkan dan semakin memberontak. Lalu dia menyuruh temannya memanggil dukun. Setelah mendapat cipratan air ludah si dukun aku pingsan dan dukunnya berkata : panggil dukun beranak, udah pembukaan sembilan. Glek !
Mbak pramusaji yang aku tahu bernama Uni tersenyum. Terpaksa. Senyum ‘niat makan apa numpang ngecharge sih?” Dia berdiri dengan salah satu kaki menopang, bergantian. Ketidaksabaran mulai menyembul di sela pori – pori wajahnya. Menembus alas bedak, merobek bedak bubuk yang menempel di kulitnya. Aku tersenyum sedikit sinis. Make up yang dikenakannya pasti bermerk V, merk yang mendarah daging bagi kalangan SPG produk kecantikan tempo doeloe. Ah, sekarang merk itu sudah lengser keprabon. Mungkin ada solusi bagi merk V yaitu bunuh diri dan lahir kembali dengan nama baru yang lebih catchy.
Nothing to lose-lah dengan nama awal, toh, memang sekarang ini sudah tidak tenar. Siapa lagi yang mau pakai produk merk V? Perempuan jaman sekarang kan lebih bangga dengan merk – merk ke-british-an, padahal belum tentu cocok dengan kulitnya. Contohnya si Memi, pembantu sebelah rumah. Setiap hari yang diomongin peralatan make up hibahan dari majikannya.
“Mbak, gue pakai bedaknya pes shop lho. Mahal harganya.” Kata Memi suatu hari. Aku hanya tersenyum. Prihatin. Mengucapkan merknya saja dia belum bisa. Untung saja dia nggak menyebut merk pet shop, bisa kram perutku mendengarnya.
“Mbak, gue lagi pakai parfum Ni..Nina...aduh..Nina Maicih lho.” Kata Memi lain hari dengan logat Jawa yang sangat medok di kata ‘gue’. Aku tidak sanggup menahan tawa.
“Eh, Mem, itu merk parfum apa merk makanan?” Godaku waktu itu.
“Parfum dong mbak. Ah, lo gak gaul banget sih.” Aku ketawa lagi mendengar logat Memi yang Jawa abis. Dia selalu mengucapkan huruf ‘g’ dengan ditekan. Walaupun sok tau, tapi Memi orang baik yang sangat disayangkan kalau sampai di ditelan porak porandanya pergaulan ibukota.
“Ehemmmm..hmmm..” Uni berdehem.
Aku melihat ke arahnya dan buyar lamunanku tentang Memi. Emosi mulai menyelinap keluar menyusul si ketidaksabaran yang mulai nyaman melekat di bedak bubuk merk V milik Uni. Aku menelan ludah sekaligus amarah. Keep calm.
“Mbak...saya pesan...nasi ayam jamur deh sama es teh manis.” Aku tersenyum dan memandangnya.
“Ayam jamurnya habis.” Jawabnya sambil melingkari tulisan ‘es teh manis’.
“Ganti deh, bakso urat ya, pakai mie.” Aku menutup list menu yang tadinya sempat aku buka kembali.
“Bakso uratnya habis, tinggal bakso halus.” Dia menjawab sambil celingak celinguk mengamati setiap pelanggan yang keluar masuk pintu. Sama sekali tidak memperhatikanku.
Oh, oke. Jadi tidak semua menu ini available ya? Aku masih berpikir positif mungkin memang mereka kehabisan stok. Maklumlah, ini hari Minggu dan memang sudah masuk waktunya lunch.
“Pesan nasi ayam asam manis ada mbak?” Aku mulai kehabisan pilihan dan mulai tidak suka dengan sikapnya.
Uni hanya mengangguk, melingkari tulisan nasi ayam asam manis, kemudian berlalu dengan cepat. Tidak ada basa basi yang basi apalagi yang basa. Ah, sudahlah Uni, rasaku habis untukmu kali ini, eh?!!
Aku menyalakan laptopku sambil mengutak - atik artikel yang selesai aku tulis semalam. Ya, beginilah nasib seorang karyawan swasta yang masih mengambil side job sebagai penulis lepas di sebuah majalah. Ketika orang – orang berkumpul dan ketawa ketiwi ketewe menikmati hari Minggu, aku malah dikejar dateline hari Senin. Aku menyukai pekerjaan ini, karena ini hobi dan cita - cita.
20 menit berlalu dan tidak ada aroma nasi ayam asam manis mengetuk hidung. Aku berdiri dan mencari sosok Uni.
“Mbak, pesenan saya belum datang nih.” Aku sedikit protes dengan pramusaji lain bernama Ira. Pramusaji yang cukup manis.
“Mohon ditunggu ya.” Jawabnya singkat dan berlalu tanpa senyum. Ah, Ira hampir saja hati ini jatuh padamu. Aku pikir kau berbeda dengan Uni.
30 menit berlalu dan orang – orang yang datang setelah aku, mulai mendapatkan makanan mereka masing – masing. Perutku mulai berdemo, iri karena melihat perut – perut kosong yang lain sudah mulai terisi.
35 menit berlalu dan salah satu organ pencernaanku mulai marah dan mengacungkan maag. Perutku tiba – tiba mules seperti dicabik – cabik. Akh, aku meringis sambil mencengkeram perut. Seorang bapak tua berkepala botak melihatku dan mengerlingkan matanya. Oh, gosh. I don’t like you, Sir. Even I can falling in love with a man, I don’t want to choose you.
“Mbak, pesenan saya mana ?” Aku bertanya sambil meringis menahan sakit. Pramusaji bernama Ayi memberiku kode ‘sabar bo, kerjaan gue banyak’. Errr... Apa salah satu syarat menjadi pramusaji di restoran S ini harus memiliki nama yang terdiri dari 3 huruf? Uni, Ira, Ayi? Ah, aku menertawakan kesimpulanku sendiri.
Nice answer dear.
Semua pramusaji mungkin dipaksa meninggalkan senyum mereka di loker. Ya, mungkin itu alasannya aku tidak bisa menemukan senyum di wajah para pramusaji. Restoran S ini cukup terkenal di kalangan menengah. Makanan yang ditawarkan pun sebenarnya lumayan banyak variasi. Harga terjangkau tapi juga tidak bisa dikatakan murah. Ramai pengunjung. Seharusnya mereka menjaga kredibilitas itu. Membayar kepercayaan pengunjung dengan full service. Aku sudah duduk di sini lebih dari setengah jam, tapi makanan tidak kunjung datang. Malah pengunjung lain yang mendapat pesanan mereka terlebih dahulu. Entah kesalahan ini terletak dimana. Aku tahu para pramusaji itu mungkin capek dengan pertanyaanku. Hanya saja, tidak semua pengunjung itu mempunyai waktu untuk menunggu dan yang memiliki waktu untuk menunggu pun mempunyai batas kesabaran untuk menunggu.
Aku jadi teringat dengan Omaku. Nenek 65 tahun itu selalu melayani pelanggan dengan prioritas. First come, first served. Membungkus setiap pesanan bubur dengan cekatan dan menghiasinya dengan senyuman. ‘Jadikan senyummu, mahkota bibirmu.’ Itu pesan beliau yang selalu terngiang. Setiap hari beliau bangun subuh sebelum ayam berkokok dan mulai memasak bubur. Padahal laba yang didapat hanya secuil, tidak akan membuatnya kaya.
“Kamu jangan salah. Pekerjaan ini membuat Oma bisa kaya raya.” Oma pernah berkata padaku dulu. Aku melotot dan bersiap membantah. Bagaimana tidak? Laba yang didapatnya setiap hari hanya berkisar antara Rp15.000 – Rp 20.000, bahkan kalau sedang tidak laku, Oma tidak mendapatkan untung sama sekali. Tidak jarang beliau rugi, jadi kaya dari mana?!
“Bukan kaya harta yang Oma maksud, tapi kaya hati. Melayani setiap orang yang datang, sabar mendengar cerita mereka itulah yang membuat Oma kaya. Setiap orang bisa dan ingin menjadi ‘raja’. Sementara sedikit orang yang mau menjadi pelayan ‘raja’. Jadilah, bukan apa yang orang elu – elukan, tapi pelayan yang dirindukan. Itulah makna harta sesungguhnya.” Saat itu aku hanya diam. Tidak tahu harus berkata apa sementara Oma mengusap rambutku dengan lembut sambil tersenyum.
Brak !
Suara pintu membuyarkan lamunanku. Makananku datang dari pintu gudang makanan yang ternyata bisa menembus ke dapur. Diantar oleh Uniku. Aku terus memandangnya, tidak lagi ke makanan.
Great.
Uni menyajikannya dengan muka datar kelelahan tanpa basa basi lagi. Uni, aku menunggumu di sini 40 menit dan hanya ini yang kamu berikan padaku? Sungguh tega kau Uni. Dimana nuranimu? Perutku melonglong sepanjang penantian ini. Bahkan satu kata maaf pun tidak pernah terluncur dari bibirmu yang kau poles dengan lipstick merk V. Kamu hanya berlalu setelah meletakkan pesananku. Membiarkanku gagu di depan nasi ayam asam manismu. Oh, Uni...eh?!!!
Tampilan makanan ini pun membunuh rasa lapar. Cacing dan naga dalam perut tiba – tiba bunuh diri karena melihatnya. Nasi putih yang lesu seperti kekurangan darah. Sayuran yang berantakan tak mengenal koreografi. Carut marut tatanan ayam mini yang hampir putus asa semalaman . Ah, sempurna sudah, Uni. Ayam asam manis itu pun menjadi banci karena aku tahu dari ayam goreng tepung sisa kemarin dia berasal. Ayam asam manis ini kehilangan jati diri. Salahkah Uni? Ah, aku semakin sakit hati padamu Uni.
Packaging. Ya, ini yang harus dipelajari oleh restoran S jika tidak ingin usahanya merosot dan kalah saing. Buat tampilan makanan semenarik mungkin. Seharusnya saos asam manis sebagai topping bisa mempercantik tampilan ayam. Ya, sejenis dengan blush on berpadu padan dengan eye shadow. Sayuran yang dibubuhkan mungkin efeknya mirip dengan eye liner, mempertajam tampilan.
Aku mulai berusaha menikmati menu lunchku yang sudah menguras emosi. Selera makanku sudah melarikan diri. Aku menelan semua makanan hanya demi kau Uni. Tolong jangan lakukan ini kepada pelangganmu yang lain. Aku hanya tidak ingin kau dicaci maki.
“Lily...” Suara lembut memanggilku.
Seorang wanita trendy masa kini menghampiriku. Semerbak parfumnya merasuk ke seluruh organ tubuhku. Mengecup pipiku lembut lalu menarikku pergi menjauh dari tempat kerja Uni. Uni menatapku bengong dari kejauhan, Ira dan Ayi berbisik – bisik, lantas tertawa terkikik. Ah, biarkan saja, aku tidak perlu mengaku lesbi. Ya, itu hanya akan membuat kalian jatuh hati. Goodbye, Ira, Ayi dan kau..Uni.
(written : 31 Mar 2012)
@Cezza13