Namanya kehidupan.
Hal yang seharusnya aku kenal semenjak masih menjadi embrio di rahim ibu. Hari ini kami bertemu di café realita. Lengkap dengan hingar bingar dan caruk maruk kuasa orde kesekian. Matahari terik dan menyengat, mengelupas setiap ingatan. Wajahnya tenang tanpa ekspresi apapun. Atau aku yang tidak bisa mendefinisikan ekspresi semacam itu?
“Aku siapa?” Tanyaku.
Kehidupan berdehem dan membuang muka. Menatap ke arah jalan di samping jendela. Angin membawa masuk debu jalanan. Udara ruangan seketika pengap. Entah sudah berapa lama si kemarau melanda. Panasnya sungguh menyiksa. Aku melihat air conditioner tidak bernyawa di dekat pintu. Bangkainya sengaja tidak diturunkan sebagai tanda café ini sempat mengalami jaman keemasan. Kata seorang tetua, semesta sudah melebihi ambang batas, sehingga teknologi manusia tidak mampu menandinginya. Aku pun mendengar selentingan, bahwa sekelompok makhluk sedang menyusun kudeta melawan semesta. Aku menyebutnya makhluk sebab aku sendiri tidak yakin mereka pantas masuk ke dalam golongan manusia. Setahuku, manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna. Logikanya, makhluk sempurna mana yang berani melawan semesta, tempat dimana mereka selama ini berada? Ah, anggap saja, logikaku yang mulai di luar nalar. Bukankah aku sedang amnesia?
“Waktu itu apa?” tanyaku kembali.
Dia meneguk kopi luwak tanpa mencampurkan gula. Membiarkan jawaban enggan terbuka. Aku berkutat dengan angka, mencoba mencerna apa itu empat, seperempat dan kuadrat. Muncul pula satu, tujuh dan sepuluh. Aku menuliskan label detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun ke hadapan kehidupan. Tidak lupa membubuhkan tanda tanya besar dengan spidol warna merah padam. Dia terpejam.
“Diam itu apa?” Aku bertanya sinis sambil mencecap teh tawar aroma mawar. Ah, biarkan saja pertanyaan itu hambar, kamu juga tidak mengijinkan kepuasanku mekar.
Mendadak aku merindukan satu kondisi. Suatu pagi yang indah, dengan embun – embun masih melekat pada rumput. Lenguhan kerbau beriringan pergi ke sawah. Kicauan burung yang bertengger di pohon mangga. Kabut masih berkeliaran sebelum matahari duduk di singgasana. Kemudian aku duduk di jendela sambil mengusap ingus dan meleletkannya pada celana. Kenangan yang membuat pikiranku sudi berkelana.
“Pagi itu apa?” Aku bertanya dengan riang. Ada perasaan hangat seperti hati yang sudah menemukan kerajaannya untuk bertahta. Aku menatap air conditioner tua, membayangkan raganya menjelma hembusan angin desa. Aku tertawa sejenak melupakan kehidupan.
“Pagi itu perasaan kehilangan yang dalam, sekaligus keikhlasan mematikan rindu yang tidak bisa padam.”
Kehidupan menjawab dengan lembut. Seperti lagu dari seorang perayu maut. Aku terhenyak. Aku pun mengingat suatu pagi yang getir. Pagi yang mengawali kemarau panjang ini. Saat itu, aku kelabakan mencari embun, ternyata matahari sudah membuatnya memuai. Aku memanggil burung, ternyata mereka sudah pindah ke sangkar penguasa. Kerbau – kerbau menjadi bangkai karena sawah pun telah berganti fungsi. Banyak penjajah yang memakai ID card berlogo properti. Merombaknya menjadi tambang uang dengan dalih masa kini.
Ada perasaan nyeri. Sunyi. Aku pun kehilangan definisi, lupa arti.
“Rindu itu apa?”
Aku bertanya dengan nada lunglai. Pandangan mataku tertuju pada satu titik, dengan raga yang hendak meletakkan bebannya. Kehidupan terdiam. Aku mulai membenci kebisuannya. Tanganku bergerak menyentuh gelas yang berisi air putih. Sekali sentak, gelas pun pecah berserakan. Café realita mendadak hening dalam cahaya remang.
“Rindu adalah perasaanmu saat ini. Bergemuruh di dalam, tapi senyap di permukaan. Mengisi setiap rongga paru – paru dengan kenangan. Nafas yang keluar pun menjadi satu bentuk kehilangan. Syaraf – syaraf otak menggerakkan hati untuk menginginkan perjumpaan.”
Kehidupan menjawab dengan pelan. Aku menangis sesenggukan. Amarah bercampur dengan ketidakberdayaan membabibuta menyerang sumsum dan tulang. Linu. Pilu.
“Takdir tidak mempertemukan. Takdir malah memisahkan.” Aku berkata dengan pasrah.
“Terkadang, sesuatu yang dipisahkan bukan untuk dijauhkan. Mungkin dengan tujuan agar masing – masing jiwa mendapat pemahaman dari pengelanaannya. Nantinya, dua jiwa tersebut menjadi cukup kuat untuk dipersatukan. Kamu tidak akan pernah tahu kemana angin membawamu pergi, tanpa mengikuti arahnya.” Kehidupan berkata sambil beranjak dari tempat duduknya.
Aku keluar dari café Realita. Mencoba merasakan arah angin dan berjalan mengikutinya. Konon, manusia diciptakan dengan hati sebagai kompas, otak sebagai kemudi dan kaki sebagai rodanya. Sebab itulah, aku terus berjalan dan mencari pemahaman dari setiap pertanyaan yang berpasangan dengan jawaban.
(written : 25 Juni 2013)
@Cezza13
Hal yang seharusnya aku kenal semenjak masih menjadi embrio di rahim ibu. Hari ini kami bertemu di café realita. Lengkap dengan hingar bingar dan caruk maruk kuasa orde kesekian. Matahari terik dan menyengat, mengelupas setiap ingatan. Wajahnya tenang tanpa ekspresi apapun. Atau aku yang tidak bisa mendefinisikan ekspresi semacam itu?
“Aku siapa?” Tanyaku.
Kehidupan berdehem dan membuang muka. Menatap ke arah jalan di samping jendela. Angin membawa masuk debu jalanan. Udara ruangan seketika pengap. Entah sudah berapa lama si kemarau melanda. Panasnya sungguh menyiksa. Aku melihat air conditioner tidak bernyawa di dekat pintu. Bangkainya sengaja tidak diturunkan sebagai tanda café ini sempat mengalami jaman keemasan. Kata seorang tetua, semesta sudah melebihi ambang batas, sehingga teknologi manusia tidak mampu menandinginya. Aku pun mendengar selentingan, bahwa sekelompok makhluk sedang menyusun kudeta melawan semesta. Aku menyebutnya makhluk sebab aku sendiri tidak yakin mereka pantas masuk ke dalam golongan manusia. Setahuku, manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna. Logikanya, makhluk sempurna mana yang berani melawan semesta, tempat dimana mereka selama ini berada? Ah, anggap saja, logikaku yang mulai di luar nalar. Bukankah aku sedang amnesia?
“Waktu itu apa?” tanyaku kembali.
Dia meneguk kopi luwak tanpa mencampurkan gula. Membiarkan jawaban enggan terbuka. Aku berkutat dengan angka, mencoba mencerna apa itu empat, seperempat dan kuadrat. Muncul pula satu, tujuh dan sepuluh. Aku menuliskan label detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun ke hadapan kehidupan. Tidak lupa membubuhkan tanda tanya besar dengan spidol warna merah padam. Dia terpejam.
“Diam itu apa?” Aku bertanya sinis sambil mencecap teh tawar aroma mawar. Ah, biarkan saja pertanyaan itu hambar, kamu juga tidak mengijinkan kepuasanku mekar.
Mendadak aku merindukan satu kondisi. Suatu pagi yang indah, dengan embun – embun masih melekat pada rumput. Lenguhan kerbau beriringan pergi ke sawah. Kicauan burung yang bertengger di pohon mangga. Kabut masih berkeliaran sebelum matahari duduk di singgasana. Kemudian aku duduk di jendela sambil mengusap ingus dan meleletkannya pada celana. Kenangan yang membuat pikiranku sudi berkelana.
“Pagi itu apa?” Aku bertanya dengan riang. Ada perasaan hangat seperti hati yang sudah menemukan kerajaannya untuk bertahta. Aku menatap air conditioner tua, membayangkan raganya menjelma hembusan angin desa. Aku tertawa sejenak melupakan kehidupan.
“Pagi itu perasaan kehilangan yang dalam, sekaligus keikhlasan mematikan rindu yang tidak bisa padam.”
Kehidupan menjawab dengan lembut. Seperti lagu dari seorang perayu maut. Aku terhenyak. Aku pun mengingat suatu pagi yang getir. Pagi yang mengawali kemarau panjang ini. Saat itu, aku kelabakan mencari embun, ternyata matahari sudah membuatnya memuai. Aku memanggil burung, ternyata mereka sudah pindah ke sangkar penguasa. Kerbau – kerbau menjadi bangkai karena sawah pun telah berganti fungsi. Banyak penjajah yang memakai ID card berlogo properti. Merombaknya menjadi tambang uang dengan dalih masa kini.
Ada perasaan nyeri. Sunyi. Aku pun kehilangan definisi, lupa arti.
“Rindu itu apa?”
Aku bertanya dengan nada lunglai. Pandangan mataku tertuju pada satu titik, dengan raga yang hendak meletakkan bebannya. Kehidupan terdiam. Aku mulai membenci kebisuannya. Tanganku bergerak menyentuh gelas yang berisi air putih. Sekali sentak, gelas pun pecah berserakan. Café realita mendadak hening dalam cahaya remang.
“Rindu adalah perasaanmu saat ini. Bergemuruh di dalam, tapi senyap di permukaan. Mengisi setiap rongga paru – paru dengan kenangan. Nafas yang keluar pun menjadi satu bentuk kehilangan. Syaraf – syaraf otak menggerakkan hati untuk menginginkan perjumpaan.”
Kehidupan menjawab dengan pelan. Aku menangis sesenggukan. Amarah bercampur dengan ketidakberdayaan membabibuta menyerang sumsum dan tulang. Linu. Pilu.
“Takdir tidak mempertemukan. Takdir malah memisahkan.” Aku berkata dengan pasrah.
“Terkadang, sesuatu yang dipisahkan bukan untuk dijauhkan. Mungkin dengan tujuan agar masing – masing jiwa mendapat pemahaman dari pengelanaannya. Nantinya, dua jiwa tersebut menjadi cukup kuat untuk dipersatukan. Kamu tidak akan pernah tahu kemana angin membawamu pergi, tanpa mengikuti arahnya.” Kehidupan berkata sambil beranjak dari tempat duduknya.
Aku keluar dari café Realita. Mencoba merasakan arah angin dan berjalan mengikutinya. Konon, manusia diciptakan dengan hati sebagai kompas, otak sebagai kemudi dan kaki sebagai rodanya. Sebab itulah, aku terus berjalan dan mencari pemahaman dari setiap pertanyaan yang berpasangan dengan jawaban.
(written : 25 Juni 2013)
@Cezza13