SOMEWHERE THAT ONLY WE KNOW
Let me take you somewhere
: My secret place
Where your soul will feel calm
Far away from our crowded world
Called it :
D-R-E-A-M-L-A-N-D
Untuk kesekian kalinya kami berbeda pendapat. Bukan karena kami tidak bisa menyatukan ide, tapi keegoisan. Ego kami terus saja berbenturan. Dia semakin sibuk dengan jabatan barunya dan aku larut ke dalam perasaan insecure. Mimpi – mimpi yang sudah kami rancang semakin jauh dari kenyataan. Kesibukan mengarahkan langkah kami ke arah yang berbeda. The fucking routines, maaf kalau aku boleh mengumpat. Ini bukan kami.
“Do you wanna go to somewhere with me?” Tanyaku sambil berbaring di sampingnya. Dia menoleh kaget. Setiap kali selesai berdebat, kami memilih untuk diam. Berpikir.
“Where will you go?” Desisnya seperti kehilangan seluruh tenaganya.
“My secret place.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Don’t you?” Aku kembali bertanya.
“Sure, I’m with you.”
“Close your eyes and hold my hand.”
Jude menatapku bingung. Aku menoleh ke arahnya tegas. Berusaha meyakinkan bahwa ini bukan tindakan kriminal. Aku hanya ingin membawanya keluar dari kegaduhan yang baru saja terjadi. Bukan berniat mencuri masa depan dan merancangnya sesuai mimpi kami. Tuhan, jangan jadikan kami tersangka atau pun terdakwa. Cukuplah Engkau menjadi saksi mata, hebatnya chemistry kami untuk mewujudkan mimpi ini.
“Just do it. Trust me.” Kataku lirih. Jude mengangguk dan memejamkan mata. Aku menggenggam tangannya erat.
“Tutup mata dan rasakan kita ada di suatu tempat. Hmmm...di padang rumput dengan langit biru yang cerah.” Aku merasakan dia menoleh ke arahku. Aku tetap terpejam.
“Tutup mata. Cukup rasakan. Padang rumput yang hijau. Tarik nafas panjang. Hmmm...segar kan?” Aku mulai mengisi rongga paru – paruku dengan udara sebanyak – banyaknya.
“Iya.” Jawabnya singkat. Aku merasakan deruan nafas mulai mereda. Perlahan mulai tenang. Ya, aku bisa merasakan alunan nafas yang indah. Nafas kami.
“Lihat deh, di sana ada pohon – pohon yang rindang. Wowww, lihat di sebelah kiri ada bunga – bunga ; lily, mawar, tulip. Semua bergoyang.” Aku mulai tertawa kegirangan dengan imajinasiku. Dia diam saja. Mungkin dia mulai merasa berbaring dengan seorang perempuan gila.
“Hei, kamu lihat nggak?” Tanyaku sambil mengguncang tangannya.
“Iya, aku lihat. Indah banget ya.”
“Nah, sekarang kita tunggu ya. Sebentar lagi anginnya datang. Are you ready?”
“Hah? Angin? Darimana?”
“Tunggu bentar. Biasanya kalau aku ke sini, anginnya datang. Anginnya enak banget. Sepoi – sepoi.”
Dia menoleh ke arahku. Aku melihat ke arahnya. Ada pertanyaan yang muncul di kedua bola matanya. Aku hanya tersenyum.
“Trust me.” Aku memohon.
Kami kembali memejamkan mata.
“Look, the winds comes. Are you ready?” Aku bersemangat sekali menyambutnya.
“Yes.”
“Waaawww....anginnya bertiup. Rambutku kena angin. Aaaaa...anginnya seru banget.” Aku tertawa kegirangan. Aku tahu dia tidak mengerti. Aku mempererat genggaman tanganku, berusaha membawanya larut dalam kebahagiaan yang aku rasakan.
Jude, tinggalkan kekisruhan dunia kita sejenak. Mari lewati ini bersama. Mungkin hanya sejenak, tapi aku berharap akan menjadi kenangan sepanjang masa untuk persahabatan kita.
“Wow...Xa, anginnya berhembus. Aku bisa merasakannya.” Dia tertawa. Aku menoleh dan melihat dia menikmatinya. Entah berpura – pura atau memang betul – betul menikmati. Aku membiarkannya menikmati suasana ini beberapa menit.
“Yaaahhh...anginnya udah pergi. Kita balik yuk.” Aku rasa waktu untuknya sudah cukup. Sekali lagi, ini tempat rahasia yang aku bangun dengan susah payah. Aku tidak mau kemurniannya akan menghilang dengan hadirnya orang lain terlalu lama.
Kami membuka mata dan berpandangan. Ada tatapan penuh kelegaan. Tidak ada kesedihan. Untukku, aku sudah menyimpannya di dalam hati. Untuknya, aku berharap kesedihan sudah terbang terbawa angin tadi.
“Kamu dapat ide itu dari mana?” Tanyanya sambil duduk bersila.
“Kok darimana? Memangnya kamu pernah lihat film atau baca buku dengan adegan kaya tadi?” Tanyaku penasaran.
“Nggak pernah. Memangnya itu tadi kamu lihat dari film?”
“Lah..aku nggak tahu kalau ada film kaya gitu. Aku sih inisiatif sendiri aja, kalau lagi sedih atau sendiri, aku suka pergi ke tempat tadi. Namanya dreamland.”
“Hmm...dreamland. Sudah berapa orang yang pernah kamu ajak ke sana?”
“Dua orang.”
“Who?” Nadanya curiga.
“Kamu dan...Jude.” Aku menahan tawa sambil mengacak – acak rambutnya.
Jude menelan ludah. Terlihat jakunnya turun naik. Aku tertawa geli melihatnya.
“Ihhh, kenapa?” Dia ikut tertawa tanpa tahu apa yang sedang aku tertawakan.
“Ini...” Jawabku sambil memegang jakunnya. Aku meraba – raba tenggorokanku sendiri dan kecewa karena aku tidak memiliki apa yang dia miliki.
“Kamu kan cewek, jadi nggak punya jakun.” Katanya sambil menepuk – nepuk kepalaku.
“Kenapa gitu? Kamu juga jangan punya jakun dong, kan aku nggak punya.” Aku manyun.
“Hah? Hahhahaha.” Dia tertawa sambil memegang perutnya.
Selanjutnya, kami kembali mencair. Rasanya perdebatan kami tidak pernah terjadi hari ini. Aku berharap hari – hari berikutnya pun, dunia kami akan baik – baik saja. Aku lelah berdebat dengannya. Aku juga tidak mau kehilangan kebahagiaan ini walaupun perpisahan terasa semakin dekat. Bahkan di setiap mimpiku, aku selalu kehilangan dia.
Hey Jude,
Pejamkan matamu dan bernafas
Nafas yang melantunkan lagu bebas
Tetaplah bersenandung walau pun mendung
Karena ini tentang kita
Bukan dunia dengan segala tuduhannya
Jude,
Tegapkan langkah dan hadapi perang ini bersama
Bukankah kita patriot bersenjatakan doa
Tidak mungkin Tuhan akan diam saja
Melihat kesungguhan mimpi yang sedang kita renda
Hey Jude,
Masihkah kamu ingin melangkah?
(written : 9 Des 2012)
@Cezza13
Let me take you somewhere
: My secret place
Where your soul will feel calm
Far away from our crowded world
Called it :
D-R-E-A-M-L-A-N-D
Untuk kesekian kalinya kami berbeda pendapat. Bukan karena kami tidak bisa menyatukan ide, tapi keegoisan. Ego kami terus saja berbenturan. Dia semakin sibuk dengan jabatan barunya dan aku larut ke dalam perasaan insecure. Mimpi – mimpi yang sudah kami rancang semakin jauh dari kenyataan. Kesibukan mengarahkan langkah kami ke arah yang berbeda. The fucking routines, maaf kalau aku boleh mengumpat. Ini bukan kami.
“Do you wanna go to somewhere with me?” Tanyaku sambil berbaring di sampingnya. Dia menoleh kaget. Setiap kali selesai berdebat, kami memilih untuk diam. Berpikir.
“Where will you go?” Desisnya seperti kehilangan seluruh tenaganya.
“My secret place.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Don’t you?” Aku kembali bertanya.
“Sure, I’m with you.”
“Close your eyes and hold my hand.”
Jude menatapku bingung. Aku menoleh ke arahnya tegas. Berusaha meyakinkan bahwa ini bukan tindakan kriminal. Aku hanya ingin membawanya keluar dari kegaduhan yang baru saja terjadi. Bukan berniat mencuri masa depan dan merancangnya sesuai mimpi kami. Tuhan, jangan jadikan kami tersangka atau pun terdakwa. Cukuplah Engkau menjadi saksi mata, hebatnya chemistry kami untuk mewujudkan mimpi ini.
“Just do it. Trust me.” Kataku lirih. Jude mengangguk dan memejamkan mata. Aku menggenggam tangannya erat.
“Tutup mata dan rasakan kita ada di suatu tempat. Hmmm...di padang rumput dengan langit biru yang cerah.” Aku merasakan dia menoleh ke arahku. Aku tetap terpejam.
“Tutup mata. Cukup rasakan. Padang rumput yang hijau. Tarik nafas panjang. Hmmm...segar kan?” Aku mulai mengisi rongga paru – paruku dengan udara sebanyak – banyaknya.
“Iya.” Jawabnya singkat. Aku merasakan deruan nafas mulai mereda. Perlahan mulai tenang. Ya, aku bisa merasakan alunan nafas yang indah. Nafas kami.
“Lihat deh, di sana ada pohon – pohon yang rindang. Wowww, lihat di sebelah kiri ada bunga – bunga ; lily, mawar, tulip. Semua bergoyang.” Aku mulai tertawa kegirangan dengan imajinasiku. Dia diam saja. Mungkin dia mulai merasa berbaring dengan seorang perempuan gila.
“Hei, kamu lihat nggak?” Tanyaku sambil mengguncang tangannya.
“Iya, aku lihat. Indah banget ya.”
“Nah, sekarang kita tunggu ya. Sebentar lagi anginnya datang. Are you ready?”
“Hah? Angin? Darimana?”
“Tunggu bentar. Biasanya kalau aku ke sini, anginnya datang. Anginnya enak banget. Sepoi – sepoi.”
Dia menoleh ke arahku. Aku melihat ke arahnya. Ada pertanyaan yang muncul di kedua bola matanya. Aku hanya tersenyum.
“Trust me.” Aku memohon.
Kami kembali memejamkan mata.
“Look, the winds comes. Are you ready?” Aku bersemangat sekali menyambutnya.
“Yes.”
“Waaawww....anginnya bertiup. Rambutku kena angin. Aaaaa...anginnya seru banget.” Aku tertawa kegirangan. Aku tahu dia tidak mengerti. Aku mempererat genggaman tanganku, berusaha membawanya larut dalam kebahagiaan yang aku rasakan.
Jude, tinggalkan kekisruhan dunia kita sejenak. Mari lewati ini bersama. Mungkin hanya sejenak, tapi aku berharap akan menjadi kenangan sepanjang masa untuk persahabatan kita.
“Wow...Xa, anginnya berhembus. Aku bisa merasakannya.” Dia tertawa. Aku menoleh dan melihat dia menikmatinya. Entah berpura – pura atau memang betul – betul menikmati. Aku membiarkannya menikmati suasana ini beberapa menit.
“Yaaahhh...anginnya udah pergi. Kita balik yuk.” Aku rasa waktu untuknya sudah cukup. Sekali lagi, ini tempat rahasia yang aku bangun dengan susah payah. Aku tidak mau kemurniannya akan menghilang dengan hadirnya orang lain terlalu lama.
Kami membuka mata dan berpandangan. Ada tatapan penuh kelegaan. Tidak ada kesedihan. Untukku, aku sudah menyimpannya di dalam hati. Untuknya, aku berharap kesedihan sudah terbang terbawa angin tadi.
“Kamu dapat ide itu dari mana?” Tanyanya sambil duduk bersila.
“Kok darimana? Memangnya kamu pernah lihat film atau baca buku dengan adegan kaya tadi?” Tanyaku penasaran.
“Nggak pernah. Memangnya itu tadi kamu lihat dari film?”
“Lah..aku nggak tahu kalau ada film kaya gitu. Aku sih inisiatif sendiri aja, kalau lagi sedih atau sendiri, aku suka pergi ke tempat tadi. Namanya dreamland.”
“Hmm...dreamland. Sudah berapa orang yang pernah kamu ajak ke sana?”
“Dua orang.”
“Who?” Nadanya curiga.
“Kamu dan...Jude.” Aku menahan tawa sambil mengacak – acak rambutnya.
Jude menelan ludah. Terlihat jakunnya turun naik. Aku tertawa geli melihatnya.
“Ihhh, kenapa?” Dia ikut tertawa tanpa tahu apa yang sedang aku tertawakan.
“Ini...” Jawabku sambil memegang jakunnya. Aku meraba – raba tenggorokanku sendiri dan kecewa karena aku tidak memiliki apa yang dia miliki.
“Kamu kan cewek, jadi nggak punya jakun.” Katanya sambil menepuk – nepuk kepalaku.
“Kenapa gitu? Kamu juga jangan punya jakun dong, kan aku nggak punya.” Aku manyun.
“Hah? Hahhahaha.” Dia tertawa sambil memegang perutnya.
Selanjutnya, kami kembali mencair. Rasanya perdebatan kami tidak pernah terjadi hari ini. Aku berharap hari – hari berikutnya pun, dunia kami akan baik – baik saja. Aku lelah berdebat dengannya. Aku juga tidak mau kehilangan kebahagiaan ini walaupun perpisahan terasa semakin dekat. Bahkan di setiap mimpiku, aku selalu kehilangan dia.
Hey Jude,
Pejamkan matamu dan bernafas
Nafas yang melantunkan lagu bebas
Tetaplah bersenandung walau pun mendung
Karena ini tentang kita
Bukan dunia dengan segala tuduhannya
Jude,
Tegapkan langkah dan hadapi perang ini bersama
Bukankah kita patriot bersenjatakan doa
Tidak mungkin Tuhan akan diam saja
Melihat kesungguhan mimpi yang sedang kita renda
Hey Jude,
Masihkah kamu ingin melangkah?
(written : 9 Des 2012)
@Cezza13