Teruntuk lelaki yang sudah terlibat banyak dalam kehidupanku,
Aku ingin meniup lilin bersamamu. Dua lilin tanpa kue ulang tahun. Membayangkan bola mata kita menyala karena pantulan api dari lilin. Perasaan hangat meresap ke dalam wajah melalui pori – pori. Bahu kita bersinggungan dan desiran darahku menderas.
“Kenapa lilinnya tidak berbentuk angka?” Tanyamu heran.
“Manusia selalu menggunakan angka untuk ukuran sesuatu. Begitu juga dengan umur. Lima, tujuh, tiga belas, tujuh belas, dua puluh, dua puluh lima, tiga puluh tujuh, lima puluh empat tahun? Apa yang membedakannya? Bukankah hidup akan jauh lebih indah dengan sedikit keabsurdan?” Aku mengajukan pertanyaan retoris. Wajahmu tercengang. Aku tersenyum.
“Hanya angka.” Jawabmu tegas sambil memandang ke arah padang rumput di depan kita. Ada kegamangan yang mengambang.
“Hanya angka. Manusia senang dengan label – label yang mereka ciptakan sendiri. Terkadang, aku tidak tahu fungsi dari label – label tersebut.” Aku bergumam sambil menyenderkan kepalaku di bahumu.
“Label buat mereka seperti identitas. Suku, agama, ras, kasta, status…” Kamu menepis seekor semut yang menempel di rambutku.
“Bukan integritas?” Aku bertanya sambil mendongakkan kepala. Kamu mengernyitkan dahi.
“Integritas?” Tanyamu ragu.
“Iya, integritas. Kondisi yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga terlihat memiliki wibawa. Power.” Aku menjelaskan.
“Kemudian berujung pada egosentris? Diri sendiri yang menjadi tolak ukur sebuah nilai. Sukuku yang paling berkuasa. Agamaku yang paling benar. Kasta A harus dihormati karena struktur sosialnya lebih tinggi. Apa nama mata pelajaran yang mengajarkan itu semua? Sosiologi?” Tanyamu lembut. Aku tertawa lantas menghela napas.
“Aku memilih belajar dari kehidupan karena sekolah pun hanya bagian dari label tersebut. Ilmu dari kehidupan tidak ada senioritas, tidak ada raport, tidak memandang angka. Di sana hanya ada ujian dan perenungan. Apabila lolos ujian, kita bisa bersyukur dan merasa bahagia. Sebaliknya, jika kita gagal melewatinya, pasti ada sebuah renungan di balik kegagalan itu.” Aku berusaha mengingat setiap pergumulan yang pada akhirnya berlalu juga.
“Mata pelajarannya keimanan, kesabaran, keikhlasan, ketekunan, kepasrahan, ketenangan, kebijaksanaan, ketulusan, kejujuran, hmmm…apalagi?” Kamu bertanya dengan nada menggoda.
“Ke-cantik-an.” Jawabku dengan penuh semangat.
“Woaa ! Explain to me, please. Sounds like an interest topic.” Kamu memberi isyarat agar aku maju ke depan. Layaknya dosen yang memberi kesempatan mahasiswanya untuk presentasi. Aku tertawa.
“Segala sesuatu hendaknya dikemas dengan kecantikan. Iman yang cantik bukan berdasarkan ‘apa agama kita’, tapi seberapa dalam hubungan dengan Tuhan. Begitu juga dengan hari ini, kecantikan suatu masa bukan terletak pada berapa umur kita, tetapi seberapa dewasa kita memaknainya. Kecantikan sejati letaknya di dalam diri, tidak sekedar apa yang dunia nilai.” Entah kemana arah pembicaraanku. Poinnya, aku tetap tidak mengerti apa itu cantik.
“Awesome !” Kamu berdiri memberikan standing applause. Mungkin hanya kamu yang sanggup mengerti otakku, lebih dari diriku sendiri.
Aku ingin berdoa bersamamu. Rasanya sudah terlampau lama kita tidak bersekutu menghadap Bapa di surga. Ah, surga…seperti apa kehidupan di sana? Benarkah segala sesuatunya tersedia? Apakah itu sebabnya, setiap orang yang sudah menginjakkan kaki di sana enggan untuk kembali hidup di dunia?
Aku mengambil dua batang lilin merah yang sempat kita abaikan. Sesaat sebelum kita meniup lilin, tanganmu menggenggam tanganku. Kemudian bibirmu bergerak indah dan jakunmu naik turun. Lirih aku dengar suara dengan nada yang teramat rendah :
Marilah kita berdoa, Ya Tuhan, Bapa Surgawi….
Aku melihatmu memejamkan mata. Ada ketenangan di sana. Aku turut memejamkan mata dan berdoa :
Bapa, terimakasih karena ternyata bahagia memang sederhana.
Kamu mengajakku meniup lilin bersama. Asap mengepul di wajah, lantas tawa kita mengudara.
“Apa harapanmu di tahun ini?” Aku bertanya. Kamu hanya mengusap lembut rambutku enggan menjawab. Memandangiku seolah aku putri sebuah kerajaan besar yang sangat kamu cintai. Bola matamu membesar, secara kinesics, menandakan bahwa ada ketertarikan. Apa perasaanmu masih seperti yang dulu?
“Harapanku, ingatanku padamu tidak pernah berubah.” Aku bergumam.
“Aku ingin berdansa bersamamu.” Pintaku. Kamu mengangguk dan meletakkan tanganku di bahumu. Aku mulai memejamkan mata dan bergerak mengikuti langkahmu.
Hamparan padang rumput hijau menjadi alas bagi kaki – kaki kita. Suara angin dan siulan burung gereja menggelitik kupu – kupu untuk menggoda lily putih dan marguerita. Ah, rasanya tempat ini sempurna untuk kita.
“Boleh aku bersenandung?” Bisikku di telingamu.
“Kenapa?” Kamu terkejut, mengingat aku tidak pernah merasa percaya diri untuk bernyanyi. Aku manusia yang tidak mengerti nada. Setiap aku menyanyikan satu lagu, di telinga orang lain terdengar seolah – olah menjadi lagu baru.
“Hanya suara ini yang bisa aku berikan. Kenang aku.” Tangisku tertahan. Kamu mendekapku erat. Dekapanmu selalu gagal membungkam tangisku.
“Ya, ini akan menjadi lagu kita. Bagaimana kalau kita namakan lagu tanpa nada?” Kamu kembali menggoda. Berusaha mencairkan kesedihan yang perlahan mulai menjajah. Aku tertawa. Seperti biasa, untuk mengakhiri tangisku, aku mengusapkan ingus di lengan bajumu. Ada perasaan lega bercampur geli. Kamu tidak pernah marah, hanya pasrah.
“Nice dress.” Katamu lirih tepat di telingaku. Aku tersipu. Sengaja aku siapkan gaun berwarna peach ini untuk merayakan hari jadimu. Berdandan sesempurna mungkin untuk mengimbangimu. Hanya kamu yang sanggup menghidupkan cerita dongeng: little princess with her kingdom.
“Do I look like a princess?” Aku melepaskan dekapanmu kemudian berputar memainkan gaun.
“You’ll always be my princess. My little princess.” Kamu menuntunku kembali duduk.
“Kenapa kamu suka dongeng dan cerita putri kerajaan?” Kamu bertanya sambil mengusap rambutku.
“Hmm..mungkin karena dongeng tidak ada di kehidupan nyata. Terkadang menyenangkan membebaskan pikiran dari keruwetan hidup. Salah satu tempat yang bisa didatangi oleh pikiran itu dongeng. Kita bisa menjadi apa saja, dimana saja, memiliki dunia ciptaan sendiri tanpa harus bersinggungan dengan kehidupan orang lain.” Pandanganku menerawang ke langit. Apa di surga sana juga menyediakan dongeng?
“Lantas, apa imajinasimu ketika menjadi seorang putri?”
“Aku berkhayal memakai gaun yang indah, dikelilingi burung – burung di suatu taman. Taman tersebut memiliki banyak pohon buah. Jadi, kalau mau makan, tinggal petik. Hahaha..” Tawaku berderai. Semoga kamu mengingat tawaku. Kenang aku.
Kamu kembali mendekapku. Kita terdiam. Bisu dalam keheningan masing – masing. Hanya bersamamu aku sanggup meresapi ketenangan jiwa tanpa perlu banyak bicara. Suatu saat nanti, selain tanpa angka, mungkin hidup kita juga tanpa kata. Jika cukup dengan merasakan, kenapa harus butuh suara untuk menjelaskan?
“Dunia memang butuh sedikit keabsurdan. Melibas nyata dalam maya, menebas maya dalam nyata.” Suaramu gemetar.
“Beruntunglah yang memiliki ruang untuk keabsurdan. Kita?” Aku cemas dengan jawabanmu.
“Beruntunglah yang memiliki realita untuk digenggam. Beruntunglah yang memiliki kata, dengan begitu mereka bisa belajar mengeja. Beruntunglah yang memiliki kehidupan...” Kalimatmu tidak tuntas. Aku semakin cemas.
“Beruntunglah yang tidak memiliki apa – apa karena mereka tidak akan pernah merasa kehilangan.” Aku menggenggam bajumu. Aku tidak mau kehilangan. Kamu melirikku dan menghela nafas. Lembut sekali. Rasanya aku ingin merekam momen itu dengan format slow motion.
“You will never lost anything that always live in your heart.” Kali ini aku tidak ingin mendengar suaramu. Tidak mau ada kehilangan lagi.
Mendadak hujan turun. Kamu berdiri dan tersenyum memandangku. Jangan…jangan sekarang. Rinduku masih beku. Kamu menepuk pelan pundakku. Tidak…aku tidak setangguh itu. Aku histeris. Kamu berlalu tanpa tangis. Mendung menelanmu. Sekejap. Lenyap.
“Jangan pergi lagi ! Tunggu aku !”
Aku berlari mengejarmu ke dalam hutan. Aku tidak tahu mana Utara, mana Selatan. Semua tampak gelap dan tak beraturan. Sebuah balok kayu menjegal langkahku. Ada perih yang menjalar dari kaki menuju hati. Ada lara yang mendera dari telapak menuju otak.
“Daddy, don’t go !”
Aku berteriak. Memberontak. Sesak.
Pyar !!!
Aku terbangun. Hufffttt, hanya mimpi. Aku memandangi lantai yang penuh dengan serpihan gelas kaca. Aku kembali terisak.
“Happy birthday, Dad. Semoga Tuhan mengijinkan pesan ini sampai di surga pada waktunya.”
The cold night calls,
And the tears fall like rain,
It's so hard letting go,
Of the one thing I'll never replace
*Dedicated for my Father’s birthday. Supported by “Wonderful Life” – Alter Bridge.
Somewhere, September 25th 2013
@Cezza13
Aku ingin meniup lilin bersamamu. Dua lilin tanpa kue ulang tahun. Membayangkan bola mata kita menyala karena pantulan api dari lilin. Perasaan hangat meresap ke dalam wajah melalui pori – pori. Bahu kita bersinggungan dan desiran darahku menderas.
“Kenapa lilinnya tidak berbentuk angka?” Tanyamu heran.
“Manusia selalu menggunakan angka untuk ukuran sesuatu. Begitu juga dengan umur. Lima, tujuh, tiga belas, tujuh belas, dua puluh, dua puluh lima, tiga puluh tujuh, lima puluh empat tahun? Apa yang membedakannya? Bukankah hidup akan jauh lebih indah dengan sedikit keabsurdan?” Aku mengajukan pertanyaan retoris. Wajahmu tercengang. Aku tersenyum.
“Hanya angka.” Jawabmu tegas sambil memandang ke arah padang rumput di depan kita. Ada kegamangan yang mengambang.
“Hanya angka. Manusia senang dengan label – label yang mereka ciptakan sendiri. Terkadang, aku tidak tahu fungsi dari label – label tersebut.” Aku bergumam sambil menyenderkan kepalaku di bahumu.
“Label buat mereka seperti identitas. Suku, agama, ras, kasta, status…” Kamu menepis seekor semut yang menempel di rambutku.
“Bukan integritas?” Aku bertanya sambil mendongakkan kepala. Kamu mengernyitkan dahi.
“Integritas?” Tanyamu ragu.
“Iya, integritas. Kondisi yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga terlihat memiliki wibawa. Power.” Aku menjelaskan.
“Kemudian berujung pada egosentris? Diri sendiri yang menjadi tolak ukur sebuah nilai. Sukuku yang paling berkuasa. Agamaku yang paling benar. Kasta A harus dihormati karena struktur sosialnya lebih tinggi. Apa nama mata pelajaran yang mengajarkan itu semua? Sosiologi?” Tanyamu lembut. Aku tertawa lantas menghela napas.
“Aku memilih belajar dari kehidupan karena sekolah pun hanya bagian dari label tersebut. Ilmu dari kehidupan tidak ada senioritas, tidak ada raport, tidak memandang angka. Di sana hanya ada ujian dan perenungan. Apabila lolos ujian, kita bisa bersyukur dan merasa bahagia. Sebaliknya, jika kita gagal melewatinya, pasti ada sebuah renungan di balik kegagalan itu.” Aku berusaha mengingat setiap pergumulan yang pada akhirnya berlalu juga.
“Mata pelajarannya keimanan, kesabaran, keikhlasan, ketekunan, kepasrahan, ketenangan, kebijaksanaan, ketulusan, kejujuran, hmmm…apalagi?” Kamu bertanya dengan nada menggoda.
“Ke-cantik-an.” Jawabku dengan penuh semangat.
“Woaa ! Explain to me, please. Sounds like an interest topic.” Kamu memberi isyarat agar aku maju ke depan. Layaknya dosen yang memberi kesempatan mahasiswanya untuk presentasi. Aku tertawa.
“Segala sesuatu hendaknya dikemas dengan kecantikan. Iman yang cantik bukan berdasarkan ‘apa agama kita’, tapi seberapa dalam hubungan dengan Tuhan. Begitu juga dengan hari ini, kecantikan suatu masa bukan terletak pada berapa umur kita, tetapi seberapa dewasa kita memaknainya. Kecantikan sejati letaknya di dalam diri, tidak sekedar apa yang dunia nilai.” Entah kemana arah pembicaraanku. Poinnya, aku tetap tidak mengerti apa itu cantik.
“Awesome !” Kamu berdiri memberikan standing applause. Mungkin hanya kamu yang sanggup mengerti otakku, lebih dari diriku sendiri.
Aku ingin berdoa bersamamu. Rasanya sudah terlampau lama kita tidak bersekutu menghadap Bapa di surga. Ah, surga…seperti apa kehidupan di sana? Benarkah segala sesuatunya tersedia? Apakah itu sebabnya, setiap orang yang sudah menginjakkan kaki di sana enggan untuk kembali hidup di dunia?
Aku mengambil dua batang lilin merah yang sempat kita abaikan. Sesaat sebelum kita meniup lilin, tanganmu menggenggam tanganku. Kemudian bibirmu bergerak indah dan jakunmu naik turun. Lirih aku dengar suara dengan nada yang teramat rendah :
Marilah kita berdoa, Ya Tuhan, Bapa Surgawi….
Aku melihatmu memejamkan mata. Ada ketenangan di sana. Aku turut memejamkan mata dan berdoa :
Bapa, terimakasih karena ternyata bahagia memang sederhana.
Kamu mengajakku meniup lilin bersama. Asap mengepul di wajah, lantas tawa kita mengudara.
“Apa harapanmu di tahun ini?” Aku bertanya. Kamu hanya mengusap lembut rambutku enggan menjawab. Memandangiku seolah aku putri sebuah kerajaan besar yang sangat kamu cintai. Bola matamu membesar, secara kinesics, menandakan bahwa ada ketertarikan. Apa perasaanmu masih seperti yang dulu?
“Harapanku, ingatanku padamu tidak pernah berubah.” Aku bergumam.
“Aku ingin berdansa bersamamu.” Pintaku. Kamu mengangguk dan meletakkan tanganku di bahumu. Aku mulai memejamkan mata dan bergerak mengikuti langkahmu.
Hamparan padang rumput hijau menjadi alas bagi kaki – kaki kita. Suara angin dan siulan burung gereja menggelitik kupu – kupu untuk menggoda lily putih dan marguerita. Ah, rasanya tempat ini sempurna untuk kita.
“Boleh aku bersenandung?” Bisikku di telingamu.
“Kenapa?” Kamu terkejut, mengingat aku tidak pernah merasa percaya diri untuk bernyanyi. Aku manusia yang tidak mengerti nada. Setiap aku menyanyikan satu lagu, di telinga orang lain terdengar seolah – olah menjadi lagu baru.
“Hanya suara ini yang bisa aku berikan. Kenang aku.” Tangisku tertahan. Kamu mendekapku erat. Dekapanmu selalu gagal membungkam tangisku.
“Ya, ini akan menjadi lagu kita. Bagaimana kalau kita namakan lagu tanpa nada?” Kamu kembali menggoda. Berusaha mencairkan kesedihan yang perlahan mulai menjajah. Aku tertawa. Seperti biasa, untuk mengakhiri tangisku, aku mengusapkan ingus di lengan bajumu. Ada perasaan lega bercampur geli. Kamu tidak pernah marah, hanya pasrah.
“Nice dress.” Katamu lirih tepat di telingaku. Aku tersipu. Sengaja aku siapkan gaun berwarna peach ini untuk merayakan hari jadimu. Berdandan sesempurna mungkin untuk mengimbangimu. Hanya kamu yang sanggup menghidupkan cerita dongeng: little princess with her kingdom.
“Do I look like a princess?” Aku melepaskan dekapanmu kemudian berputar memainkan gaun.
“You’ll always be my princess. My little princess.” Kamu menuntunku kembali duduk.
“Kenapa kamu suka dongeng dan cerita putri kerajaan?” Kamu bertanya sambil mengusap rambutku.
“Hmm..mungkin karena dongeng tidak ada di kehidupan nyata. Terkadang menyenangkan membebaskan pikiran dari keruwetan hidup. Salah satu tempat yang bisa didatangi oleh pikiran itu dongeng. Kita bisa menjadi apa saja, dimana saja, memiliki dunia ciptaan sendiri tanpa harus bersinggungan dengan kehidupan orang lain.” Pandanganku menerawang ke langit. Apa di surga sana juga menyediakan dongeng?
“Lantas, apa imajinasimu ketika menjadi seorang putri?”
“Aku berkhayal memakai gaun yang indah, dikelilingi burung – burung di suatu taman. Taman tersebut memiliki banyak pohon buah. Jadi, kalau mau makan, tinggal petik. Hahaha..” Tawaku berderai. Semoga kamu mengingat tawaku. Kenang aku.
Kamu kembali mendekapku. Kita terdiam. Bisu dalam keheningan masing – masing. Hanya bersamamu aku sanggup meresapi ketenangan jiwa tanpa perlu banyak bicara. Suatu saat nanti, selain tanpa angka, mungkin hidup kita juga tanpa kata. Jika cukup dengan merasakan, kenapa harus butuh suara untuk menjelaskan?
“Dunia memang butuh sedikit keabsurdan. Melibas nyata dalam maya, menebas maya dalam nyata.” Suaramu gemetar.
“Beruntunglah yang memiliki ruang untuk keabsurdan. Kita?” Aku cemas dengan jawabanmu.
“Beruntunglah yang memiliki realita untuk digenggam. Beruntunglah yang memiliki kata, dengan begitu mereka bisa belajar mengeja. Beruntunglah yang memiliki kehidupan...” Kalimatmu tidak tuntas. Aku semakin cemas.
“Beruntunglah yang tidak memiliki apa – apa karena mereka tidak akan pernah merasa kehilangan.” Aku menggenggam bajumu. Aku tidak mau kehilangan. Kamu melirikku dan menghela nafas. Lembut sekali. Rasanya aku ingin merekam momen itu dengan format slow motion.
“You will never lost anything that always live in your heart.” Kali ini aku tidak ingin mendengar suaramu. Tidak mau ada kehilangan lagi.
Mendadak hujan turun. Kamu berdiri dan tersenyum memandangku. Jangan…jangan sekarang. Rinduku masih beku. Kamu menepuk pelan pundakku. Tidak…aku tidak setangguh itu. Aku histeris. Kamu berlalu tanpa tangis. Mendung menelanmu. Sekejap. Lenyap.
“Jangan pergi lagi ! Tunggu aku !”
Aku berlari mengejarmu ke dalam hutan. Aku tidak tahu mana Utara, mana Selatan. Semua tampak gelap dan tak beraturan. Sebuah balok kayu menjegal langkahku. Ada perih yang menjalar dari kaki menuju hati. Ada lara yang mendera dari telapak menuju otak.
“Daddy, don’t go !”
Aku berteriak. Memberontak. Sesak.
Pyar !!!
Aku terbangun. Hufffttt, hanya mimpi. Aku memandangi lantai yang penuh dengan serpihan gelas kaca. Aku kembali terisak.
“Happy birthday, Dad. Semoga Tuhan mengijinkan pesan ini sampai di surga pada waktunya.”
The cold night calls,
And the tears fall like rain,
It's so hard letting go,
Of the one thing I'll never replace
*Dedicated for my Father’s birthday. Supported by “Wonderful Life” – Alter Bridge.
Somewhere, September 25th 2013
@Cezza13